![Biografi Sultan Ageng Tirtayasa](https://www.pahlawanindonesia.com/wp-content/uploads/2012/02/Biografi-Sultan-Ageng-Tirtayasa1-150x150.jpg)
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683)
adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Bantenperiode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelarPangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651- 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOCmenerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.
Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusufsebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.Silsilah Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa @ Sultan 'Abdul Fathi Abdul Fattah bin.Sultan Abul Ma'ali bin.Sultan Abul Mafakhir bin.Sultan Maulana Muhammad Nashruddin bin.Sultan Maulana Yusuf bin.Sultan Maulana Hasanuddin bin.Sultan Syarif Hidayatullah @ Sunan Gunung Jati Cirebon.
SPIRIT KARAKTER DAN LEADERSHIP SULTAN AGENG TIRTAYASA
MASA KEPEMIMPINAN SULTAN AGENG TIRTAYASA
Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).Firman V dalam tulisannya menggambarkan sosok Sultan Ageng Tirtayasa, sejak muda, ketika masih menjabat Sultan-muda dan sebelumnya, sudah dikenal di kalangan masyarakat sebagai salah seorang putera bangsawan yang menyukai seni buday, memiliki ketaatan kepada ajaran agama. Beliau mampu melakukan permainan semacam wayang wong, dan permainan dedewaan. Demikian pula ia senang akan main sasaptonan yang agaknya pada masa itu merupakan permainan yang amat digemari di kalangan bangsawan dan rakyat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Sultan Ageng Tirtayasa begitu menghargai kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dalam kesehariannya.Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Di komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan untuk mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian juga di beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan membina mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makasar, Syekh Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).Sultan membina hubungan baik dengan beberapa negara Islam seperti dengan Aceh dan Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang kuat dan penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri. Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke Ingris yang terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan (Russel Jones, 1982).Demikian pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam membangun kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda, sehingga Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten. … Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni yang lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).
TAHAP AKHIR PERJUANGAN SULTAN AGENG TIRTAYASA
Tahun 1618 Belanda berselisih dengan Banten 1612 berdiri Batavia oleh Jan Viter Zeun Coen. Sultan Banten ke IV ialah Sultan Tirtayasa pada tahun 1651-1682. Pada tahun 1680 Sultan Ageng Tirtayasa berselisih dengan Sultan Haji yang minta bantuan pada Belanda.Hubungan Sultan Haji dengan kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya sehingga dalam pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan satu barisan pasukan kompeni sebagai pasukan tambahan, yang pada hakekatnya mereka adalah mata-mata yang ditanam kompeni di Banten. Memang inilah yang dituju kompeni, Sultan Haji sudah terbiasa dengan segala yang berbau Belanda.Ia lebih percaya kepada kata-kata kompeni dari pada petuah-petuah ayahnya. Karena hasutan kompeni ini pulalah maka hubungan Sultan Haji dengan ayahnya semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga mencurigai. Sehingga pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan yang kuat untuk segera memegang kekuasaan penuh di Kesultanan Banten, tanpa adanya campur tangan ayahnya.Keinginan demikian terlihat dari tindakan Sultan Haji yang pada bulan Mei 1680 mengirimkan utusan ke Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk menawarkan perdamaian sambil menegaskan bahwa yang berkuasa di Banten sekarang adalah dirinya. Ia menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa sudah menyerahkan seluruh kekuasaannya.Sudah tentu tawaran itu ditolak, kompeni tahu bahwa Sultan Ageng Tirtayasa belum meletakkan jabatannya. Keadaan ini dijadikan senjata oleh kompeni mendorong Sultan Haji untuk segera memperoleh kuasa penuh di Banten.Satu hal lagi yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman menjadi Gubernur Jendral VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal 25 November 1680, padahal saat itu kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon yang kemudian dapat menguasai Cirebon seluruhnya. Melihat keadaan anaknya yang sudah sedemikian keadaannya, Sultan Ageng Tirtayasa memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu. Rakyat dari daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin, Carita dan sebagainya banyak yang mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit.Demikian juga tentara pelarian dari Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan Cirebon bergabung dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan sudah tidak peduli lagi dengan tentara dan bangsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang dianggap berpindah adat dan berbeda haluan.Dalam suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar khabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan kompeni kerena dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan tidak dihiraukan kompeni.Hal ini membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi. Rasa harga dirinya sebagai Sultan dari suatu negara merdeka terasa diremehkan. Maka diumumkannya bahwa Banten dan kompeni Belanda dalam situasi perang.Pernyataan perang Sultan Ageng Tirtayasa kepada kompeni ini ditentang oleh anaknya, Sultan Haji. Sultan Haji menyatakan bahwa keputusan itu terlalu ceroboh, dan, karena tidak dimusyawarahkan dahulu dengannya maka keputusan itu tidak syah.Bahkan dengan bermodalkan bantuan pasukan kompeni, yang dijanjikan kepadanya, Sultan Haji memak-zulkan ayahnya, dengan alasan bahwa ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah mulai pikun sehingga mulai saat ini kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.Melihat tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah kesabaran Sultan Ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah kompeni Belanda, tapi untuk menggem-purnya harus ada kesatuan kata dari semua rakyat Banten.Oleh karenanya sebelum menyerang Batavia, terlebih dahulu harus menyatukan Banten, yaitu mengganti Sultan Haji. Sultan Ageng bukanlah akan berperang dengan anaknya, tetapi yang diperangi adalah antek penjajah.Pada tanggal 26 malam 27 Pebuari 1682, dengan dipimpin sendiri oleh Sultan Ageng Tirtayasa, mulailah diadakan penyerbuan mendadak ke Surosowan, yang berhasil mematahkan perlawanan Surosowan, sehingga dalam waktu singkat, pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana. Sultan Haji melarikan diri dan minta perlindungan kepada Jacob de Roy, bekas pegawai kompeni.Keadaan Surosowan ini segera dapat diketahui Batavia, maka pada tanggal 6 Maret 1682 dipimpin oleh Saint Martin kompeni mengirimkan dua kapal perang lengkap pasukan tempurnya. Pasukan ini tidak segera dapat mendarat di pelabuhan Banten, karena hebatnya perlawanan pasukan Banten. Maka Kapten Sloot dan W. Caeff, wakil kompeni di Banten, segera mengirim utusan ke Batavia agar kompeni mengirimkan pasukan darat yang lebih banyak lagi.Setelah mempelajari keadaan medan perang, kompeni segera mengirim pasukan bantuan dari darat dan laut. Penyerangan dari laut dipimpin oleh Kapten Francois Tack yang, nanti bersama-sama dengan pasukan Saint Martin mengadakan serangan di depan pelabuhan Banten.Sedangkan pasukan darat dipimpin Kapten Hartsinck, berkekuatan 1000 orang, mengadakan penyerangan dari arah Tangerang; nanti dalam serbuan ke Tirtayasa, pasukan ini bergabung dengan pasukan laut, sehingga Tirtayasa diserang dari dua arah, demikian taktik kompeni.Melalui pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten Tack dan Saint Martin dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa dan pasukannya mundur ke arah barat sungai Ciujung. Pertempuran ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng hanya dapat bertahan di benteng Kedemangan.Dalam pada itu, pasukan Banten di Tangerang dan Angke berusaha menahan serangan pasukan Kapten Hartsink. Di sebelah timur Sungai Angke, kompeni hanya dapat bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah baratnya, pada tanggal 30 Maret 1682, sudah dapat dikuasai pasukan Banten yang dipimpin Pangeran Dipati.Tapi setelah melalui pertempuran yang lama, pada tanggal 8 Desember 1682 kubu pertahanan Banten di Tangerang dan Angke dapat dikuasai kompeni. Benteng di Kedemangan pun akhirnya dapat dihancurkan pasukan Kapten Tack pada tanggal 2 Desember 1682. Dengan demikian ruang gerak prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil.Disebelah barat pasukan kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji menguasai sampai Kademangan, sedangkan dari arah timur pasukan Kapten Hartsinck sudah sampai di perbatasan daerah Tanahara. Sehingga daerah induk yang masih dikuasai Sultan Ageng hanyalah Tanahara, Tirtayasa dan Kademangan saja.Untuk mempertahankan Tirtayasa, benteng di Kademangan dan Tanahara merupakan kubu pertahanan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat. Di Tanahara, Sultan Ageng menempatkan pasukan darat yang dipusatkan di benteng Tanahara, dan juga pasukan lautnya di Pulau Cangkir.Karena kuatnya pertahanan di Tanahara ini, maka kompeni menambah lagi pasukan tempurnya dari Batavia dipimpin Kapten Jonker. Setelah mengerahkan pasukan penyerang dari darat dan laut, barulah pada tanggal 28-29 Desember 1682 Tanahara pun dapat direbut kompeni.Dalam usaha untuk menguasai daerah Tirtayasa, kompeni melakukan penyerangan serentak dari dua jurusan: pasukan Kapten Tack dan Sultan Haji menyerang dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten Jonker menyerang dari Tanahara. Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng dikerahkan untuk melawan kekuatan kompeni ini.Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf dan seluruh pembesar negeri semuanya turut berperang memimpin pasukan. Pertempuran berlangsung hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng sedikit demi sedikit dapat dipukul mundur. Karena Sultan memperkirakan bahwa pasukannya tidak akan mampu mempertahankan Tirtayasa lebih lama lagi, maka diperintahkan pasukannya untuk segera mengundurkan diri, meninggalkan Tirtayasa dan mundur ke arah selatan yaitu hutan Keranggan.Tapi sebelumnya, Sultan memerintahkan supaya istana dan bangunan lainnya dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunannya itu diinjak oleh orang kafir dan pendurhaka. Memang, akhirnya kompeni dan Sultan Haji dapat menduduki Tirtayasa, tetapi di sana mereka hanya mendapati puing-puing bekas istana saja, bahkan penduduknya pun banyak yang ikut Sultannya ke hutan.Dari hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya melanjutkan perjalanan ke Lebak. Satu tahun mereka melakukan perang gerilya dari sana. Tapi akhirnya, Lebak pun dapat dikepung pasukan kompeni, sehingga pasukan Sultan Ageng terpecah menjadi dua bagian: Pangeran Purbaya dan sejumlah tentaranya bergerak ke sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sedangkan Sultan Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya bergerak ke daerah Sajira, di perbatasan Bogor.Sultan Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan. Dengan petunjuk serta nasehat kompeni, yang ingin melakukan tipu daya halus, maka Sultan Haji mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Sajira. Surat itu berisikan ajakan Sultan Haji supaya ayahnya kembali ke Surosowan dan hidup bersama dengan damai, di samping itu dapatlah dirundingkan kedudukan prajurit dan rakyat Banten yang mendukung perjuangan Sultan Ageng.Tanpa perasaan curiga sedikit pun, Sultan yang kala itu usianya sudah lanjut,(ditambah pula kesedihan atas gugurnya Pangeran Kulon pada tanggal 7 Maret 1683) maka pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam, Sultan Ageng datang ke Surosowan setelah lama bertahan di hutan.Sultan Ageng Tirtayasa dengan beberapa pengawalnya sampailah di Surosowan dan langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan sang ayah. Penerimaan Sultan Haji sangat baik meski pun di belakangnya telah ada maksud tertentu atas bujukan kompeni. Tetapi setelah beberapa saat lamanya tinggal di istana Surosowan ia ditangkap oleh kompeni dan segera dibawa ke Batavia.Memang itulah maksud dan tipudaya kompeni atas kerja sama dengan Sultan Haji. Jika Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan berada di Surosowan maka dikhawatirkan oleh kompeni akan dapat mempengaruhi Sultan Haji, yang sudah erat bekerjasama dengan kompeni.Sultan Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalam penjara berbenteng di Batavia dengan penjagaan ketat serdadu kompeni hingga meninggalnya di penjara pada tahun 1692. Jenazahnya oleh Sultan Abdulmahasin Zainul Abidin, anaknya Sultan Haji, dan terutama oleh rakyat Banten yang amat mencintainya dimintakan kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikirim kembali ke Banten.Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan ia dimakamkan di samping sultan-sultan pendahulunya, di sebelah utara Masjid Agung Banten.
KETELADANAN SULTAN AGENG TIRTAYASA
Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya. Dilihat dari segi diplomasi, ia selalu menjaga jalinan kerjasama dalam bentuk politik maupun ekonomi yang saling menguntungkan. Munculnya VOC yang ingin memonopoli keadaan tentu membuat Sultan Ageng Tirtayasa gelisah dan melakukan perlawanan. Ia selalu konfrontatif dengan ketidakadilan, ketidakberesan dan selalu konsekuen dengan kebenaran yang dipegangnya. Ia juga kukuh memertahankan martabatnya termasuk ketika ia harus berhadapan dengan Sultan Haji, darah dagingnya sekalipun.Sejarah keemasan kesultanan Banten, terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa sekitar kurun waktu periode 1651-1682 M. Kedaulatan politik dan ekonominya benar-benar membawa kesultanan Banten menjadi kekuatan dunia yang disegani dan berpengaruh di Asia. Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan internasional.Dalam buku sejarah Banten yang ditulis oleh Claude Guiilot digambarkan bahwa, Sultan Ageng Tirtayasa adalah sultan Banten yang berinisiatif melakukan transfor-masi budaya dan pembangunan fasilitas fisik yang biasa berbasis kayu dan bambu menjadi berbasis batu beton. Untuk itu, Sultan tidak segan mengangkat seorang arsitek asal Cina bernama Cakradana sebagai pimpinan proyek dalam alih teknologinya. Bahkan untuk pembangunan bendungan untuk teknologi tata kelola air untuk irigasi persawahan mendatangkan seorang konsultan dari Belanda bernama Willem Caeff. Inilah potret seorang teknokrat visioner yang egaliter dan terbuka menerima IPTEK dari manapun datangnya untuk kemaslahatan masyarakat banyak.Sultan dikenal sebagai ahli strategi perencanaan logistik andal di zamannya. Sultan membangun irigasi multifungsi. Irigasi bukan hanya untuk kepentingan ekonomi pertanian, tapi juga sebagai jalur transportasi dan pertahanan Negara. Sultan mampu menciptakan konsep terpadu dalam menyiapkan infrastuktur, sehingga keterbatasan diubah menjadi keunggulan. Sultan memiliki idealisme untuk melaku-kan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kezaliman penjajah Belanda sampai akhir hayatnya.Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik ekspansi ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan tujuan untuk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yang dilakukan dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untuk melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian damai yang dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa usul itu ditolak karena selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak akan mendatangkan keuntungan bagi Banten.Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar